Header Ads


Seluruh rakyat Papua harus bersatu tolak Otsus jilid II

Oleh: Sepi Wanimbo

KEPADA seluruh rakyat Papua dari sorong sampai merauke bersatu hati tolak Otonomi Khusus [Otsus] jilid II bagi Papua yang sedang dan atau akan ditawarkan oleh Pemerintah Pusat di Jakarta.

Tujuan hadirnya Otsus di tengah-tengah rakyat Papua sudah sangat jelas bahwa untuk membangun atau memperbaiki ekonomi, kesehatan, pendidikan dan politik bagi rakyat.

Tetapi sayang sekali sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus bagi Papua yang ada hanya penderitaan bagi rakyat kecil kita liat salah satu contoh kasus.

Pendekatan keamanan dengan mengedepankan operasi militer di Papua telah dilakukan ketika masa Orde Baru untuk menyelesaikan masalah separatisme di Papua. Kasus Biak Berdarah pada tahun 1998, Wasior Berdarah tahun 2001, Wamena berdarah 2003, Paniai 2014 dan terakhir 2019 menjadi bukti bahwa pendekatan militer dalam otonomi khusus ternyata menciptakan siklus kekerasan tanpa berakhir.

Juga dalam undang-undang 21 tahun 2001 memuat pasal-pasal yang menjadi jaminan dan harapan bagi rakyat Papua. Sudah sangat jelas tetapi yang ada hanya janji dan kesepakatan yang tertian dalam amanat undang – undang-undang negara Republik Indonesia berbohong pada rakyat Papua kita liat berikut ini.

Perlindungan pengakuan hak-hak dasar orang asli Papua memberdayakan dan keberpihakan telah gagal dan itu sungguh-sungguh melahirkan kekecewaan dan kegelisaan yang mendalam bagi penduduk Orang Asli Papua. Dalam Otsus banyak orang asli Papua yang terbunuh di tangan aparat keamanan TNI juga Polri dan pelakunya belum pernah diproses hukum untuk keadilan bagi keluarga korban.

Padahal negara Republik Indonesia menganut nilai-nilai Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika tetapi nilai keadilan, kejujuran dan kebenaran yang ada dalamnya itu tidak pernah ungkapkan dan tidak pernah tegakan secara jujur dan benar.

Sehingga rakyat di tanah Papua sudah tidak percaja kepada pemerintah pusat dalam kebijakannya sebab orang yang bersalah selalu dibenarkan dan orang yang benar selalu di salahkan.

Kita liat realita depan mata rasisme dan ketidakadilan bertumbuh dan berurat akar dalam era Otonomi Khusus. Terbukti peristiwa rasisme yang terjadi pada, 15-17 Agustus 2019 di Semarang, Malang, Jogyakarta yang dilakukan oleh organisasi massa radikal seperti: Pront Pembela Islam (FPI), Pemuda Pancasila (PP), anggota TNI dan Forum Komunikasi Putra – Putri Purnawirawan TNI (FKPP).

Akar persoalan masalah di tanah Papua bukan dari sekarang ini saja tetapi sejak tahun 1965 kekerasan Negara dan pelangaran HAM berat sampai hari ini belum ada penyelesaian, sejarah dan status politik, bagi rakyat Papua, diskriminalisasi dan marjinalisasi orang asli Papua.

Dalam kampanye Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia pernah mengatakan tidak ada masalah dengan usulan dirinya bertemu dengan tokoh pro referendum Papua Barat berada dalam organisasi gerakan persatuan pembebasan Papua Barat (KNPB – ULMWP). Senin, 30 September 2019, CCN Indonesia.

Tak hanya itu tetapi janji Pak Wakil Presiden Republik Indonesia menyampaikan untuk menyelesaikan persoalan Papua Barat itu saya bersediah melalui berdialog dengan para tokoh Papua Barat untuk menyelesaikannya. Jumat, 07 Desember 2018, Kompas.Com.

Saya pikir soal Dialog/Referendum ini salah satu jalan yang terbaik untuk menyelesaikan persoalan pelangaran HAM berat sehingga kami rakyat di tanah Papua sangat tidak ragu lagi karena Pemerintah Republik Indonesia sudah punya pengalaman yang baik menyelesaikan konflik di Aceh melalui Dialog dusuk satu meja berundin antara Aceh dan Indonesia pada akhirnya konflik yang selalu korbangkan nyawa manusia telah berakhir dengan baik.

Dengan adanya pengalaman yang baik itu kami seluruh rakyat Papua Barat meminta keadilan dari Pemerintah Republik Indonesia untuk menyelesaikan persoalan Papua Barat yang sudah ditunjukkan oleh Indonesia untuk GAM di Aceh. Wakil Presiden Pak Yusuf Kalla berperan secara aktif mendukung dialog dengan GAM yang dimediasi Internasional. Oleh karena itu, kami rakyat Papua Barat menuntut bahwa Pemerintah Indonesia segerah berdialog dengab ULMWP yang dimediasi pihak ketiga yang netra.

Dialog atau referendum ini sebagai jalan satu-satunya yang terbaik atau solusi yang tepat untuk menghadirkan perdamaian di tanah Papua Barat sesuai harapan dan doa.

*] Penulis adalah Ketua Departemen Pemuda Gereja Baptis Papua

Sumber, wagadei.com

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.