Header Ads


Tiga Pemekaran Baru Bagi Papua Tak Membawa Obat Kesembuan Luka Bagi OAP

Oleh : Sepi Wanimbo - 

SEJAK Negara Kesatuan Republik  Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus tahun 1945 sampai detik ini. Mereka menduduki wilayah Papua Barat berfokus membangung Ekonomi, Pendidikan, Politik, Kesehatan, Inprastruktur dan Sumber Daya Manusia ( SDM ) bagi orang Papua sangat baik tetapi menurut orang Papua kasus atau pelanggaran HAM berat di beberapa segi di atas itu selalu saja terjadi setiap waktu, minggu, bulan, dan tahun lebih para sekali itu kasus pelanggaran HAM terhadap orang asli Papua selalu terjadi dari anggota keamanan TNI-POLRI Indonesia.

Luka dan sakit bagi orang Papua sejak lama sampai detik ini tidak bisa menyembuhkan dengan cara – cara seperti pemakaran wilayah baru di sebut “Daerah Otonom Baru” ( DOB ), yang sudah disahkan dan dilantik ketiga Pj. Gubenur Papua Selatan, Papua Pengunungan Tenga dan Papua Pengunungan oleh Kemendagri Dalam Negeri Republik Indonesia. Harapan pemerintah pusat melalui ketiga provinsi baru ini kami akan memajukan wilayah Papua dan Papua Barat namun menurut orang Papua provinsi baru itu akan menambah masalah baru juga akan terus terjadi tantangan berat bagi rakyat kecil terbukti bahwa kedua provinsi induk ini saja hampir semua lini dikuasasi oleh Non Papua sementara anak daerah sendiri jadi penonton setia kemungkinan besar ketiga wilayah baru ini juga akan diisi oleh saudara – saudari kita Non Papua sekarang ini kita bisa liat pelantikan Pj. Gubernur orang asli Papua namun sekdanya bukan orang asli Papua itu awal lama kelamaan akan jadi lebih dari itu.sehingga putra Papua yang menduduki jabatan strategis yang akan menduduki seperti jabatan Parlemen, Birokrat dan wiraswasta atau pengusaha tentu prioritaskan anak putra daerah sendiri.

 Kita liat fakta sejarah pada tanggal 1 Mei 1963 adalah sejarah kemenangan bagi bangsa Indonesia. Sementara bagi orang Papua tanggal 1 Mei 1963 adalah awal malapetaka dan pemusnahan etnis Papua dan ras Melanesia. Mengapa dikatakan awal malapetaka dan pemusnahan etnis Papua? Sebelum orang – orang Papua menyatakan pilihan dalam PEPERA 1969, Indonesia sudah mengirimkan pasukan militer Indonesia dan menerapkan peraturan – peraturan Indonesia di Papua dan militer meaksanakan tugas dengan lebih kejam dan menghadapi orang – orang Papua.

Pasal 13 dari Perjanjian New York 15 Agustus 1962 menyatakan,”pasukan – pasukan keamanan PBB akan digantikan oleh pasukan keamanan Indonesia setelah tahap pertama pemerintah UNTEA. Seluruh pasukan keamanan PBB akan ditarik pada saat pasukan keamanan PBB akan digantikan oleh penyerahan pemerintah kepada Indonesia”. Lebih lanjut, Pasal 14 dari Perjanjian New York adalah, “pelaksanaan undang – undang dan peraturan – peraturan nasional Indonesia di Papua Barat” sebelum Penentuan Pendapat Rakyat ( PEPERA ) 1969.

Jika Amerika, Indonesia, Belanda dan PBB, dengan benar, adil dan jujur, melaksanakan Penentuan Pendapat Rakyat ( PEPERA ) 1969 Di Papua Barat, langkah – langkah yang lebih terhormat, bermartabat, simpatik dan manusiawi dan demokratis adalah sebagai berikut.

Indonesia yang sedang bertikai dengan Belanda tentang status politik dan masa depan Papua Barat seharusnya tidak diijinkan menerapkan aturan – aturannya dan militernya di Papua Barat sebelum orang Papua menentukan pilihan dalam Act of Choice ( PEPERA ) 1969.Tetapi, Belanda disuruh pergi dan Indonesia yang diijinkan masuk dan melaksanakan PEPERA 1969 di Papua Barat. Dalam karun waktu ini, militer Indonesia benar – benar menindas orang – orang Papua dengan kenjam. Pengejaran, penangkapan, pemenjaraan, penyiksaan, pemerkosaan, dan penculikan dan pembunuhan secara luas terjadi di tanah Papua. “Pada masa Kodam dipimpin oleh Brigjen R. Kartinjo ( 1965 -23 Maret 1966 ), dilaksanakan”Operasi Sadar” yang bertugas melakukan kegiatan inteljen, menyadarkan pada kepala suku, dan melakukan penangkapan terhadap para pemimpin OPM ( Organisasi Papua Merdeka ) serta menagkap orang – orang Papua yang menolak integrasi dengan Indonesia Kemudiaan ketika Brikjen R. Bintoro ditunjuk sebagai Pandam ( 23 Maret 1966 – 25 Juni 1968 ), memimpin hancurkan aktivitas OPM yang dipimpin Ferry Awom di Manokwari dan menguasasi wilayah Papua Barat secara keseluruan. Pandam berikutnya, Brikjen Sarwo Edhi Wibowo memimpin tugas “Operasi Sadar” yang bertujuan menghabisi sisa – sisa OPM, merangkul orang – orang Papua untuk memenangkan PEPERA  1969, dan melakukan konsolidasi kekuasaan pemerintah indonesia di seluruh wilayah Papua.

Dalam prosesi masukannya Papua ke dalam wilayah Indonesia, militer Indonesia memainkan peran sangat besar dan penting sebelum, dalam proses pelaksanaan dan sesudah PEPERA 1969. Terlihat dalam dokumen militer: “Surat Telegram Resmi Kol. Inf. Soepomo, Komando Daerah Militer XVII Tjenderawasih Nomor. TR-20/PS/PSAD/196,Tertanggal 20 – 2 – 1967, berdasarkan Radio Gram MEN/PANDAD No.: TR – 228/1967 TBT Tertanggal 7 – 2 – 1969, perihal : menghadapi referendum di IBRA tahun 1969: “Mempergiatkan segala aktivitas  di masing – masing bidang dengan mempergunakan semua kekuatan material dan personil yang organik maupun yang B/P – kan baik dari Angkatan darat maupun dari lain angkatan. Berpegang teguh pada pedoman. Referendum di IRBA tahun 1969 harus dimenangkan. Bahan – bahan strategis vital yang ada harus diamankan. Memperkecil kekalahan pasukan kita dengan mengurangi pos – pos yang statis. Surat ini sebagai perintah OPS untuk dilaksanakan. Masing – masing koordinasi sebaik – baiknya. Pandam 17/PANG OPSADAR”

Yang seharusnya mengawasi dan mengontrol Papua Barat sebelum melaksanakan PEPERA 1969 adalah tanggungjawab penuh UNTEA ( PBB ). Ternyata, PBB, hanya melaksanakan tugas selama enam bulan dan menyerahkan Papua Barat ke dalam tangan Indonesia pada Mei 1963 jau sebelum melaksanakan PEPERA 1969. ( Sumber : Dr. Socratez Sofyan Yoman, MA Pemusnahan Etnis Malanesia, hal. 118 – 121 2007 ).


Orang asli Papua mengalami kesakitan, para yaitu  trauma, diintimidasi, teros, pemerkosaan, penculikan,penganiyaan, dan ketidakadilan, ketidakbenaran, ketidak jujuran waktu ke – waktu selalu terjadi sebagian sedikit saja saya tulis di atas ini maka luka dan sakit bagi orang asli Papua itu mau sembuhkan tidak bisa melalui pemakaran wilayah baru atau provinsi baru, tetapi harus menyembuhkan sakitnya bagi orang Papua itu ada dua cara atau dua solusi antaranya melalui Referendum atau dialog.

Saya sampaikan apresiasi kepada pemerintah Indonesia mengapa pemerintah pusat sudah mempunyai pengalaman yang besar dan pengalaman itu menjadi guru yang baik yaitu masalah konflik sangat bisa menyelesaikan melalui dialog seperti saudara – saudara kita di Aceh Merdeka GAM  dengan Indonesia duduk satu meja berundin dimediasi oleh pihak ke tiga yang netral yaitu PBB sehingga kasus atau masalah konflik yang selalu terjadi pertumpahan darah itu pada akhirnya telah selesai dengan baik juga disana.

Pengalaman yang baik itu rakyat Papua sangat berharap dan diminta selesaikan kasus – kasus menjadi luka besar bagi orang Papua pemerintah pusat jangan mengendepankan keamanan namun mengendepankan menciptakan kedamaian melalui jalan dialog duduk satu meja menjadi wasit adalah pihak ketiga yang netral dalam hal ini PBB untuk selesaikan semua persoalan di tanah Papua.

Dengan penuh semangat pemerintah pusat harus membuka ruang dialog ini saya percaya kongfil yang selalu terjadi sejak 1969 sampai 2022 saat ini sangat bisa selesaikan  secara damai bermartabat, jujur dan adil sesuai kelima sila yang kita miliki benar – benar praktekan saya jakin Papua akan jadi lebih baik sesuai harapan semua rakyat Papua.

Harapan saya tulisan artikel pendek ini menjadi catatan penting bagi pengambil kebijakan di Pusat maupun di daerah untuk melaksanakan. Tuhan Yesus Kristus memberkati kita semua.Waaa...Waaa

Jayapura    : 21 November 2022

Penulis adalah Ketua Pemuda Baptis West Papua, Anggota Forum Pemuda Kristen Di Tanah Papua 

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.