Header Ads


Hentikan orang Indonesia masuk ke Papua!

Oleh: Makiimee Goo

“TANAH Papua bukan Tanah Kosong” dipilih sebagai Judul buku “Seri Memoria Pasionis No-37” Edisi terkini tahun 2018. Tanah Papua milik Orang Papua. Klaim negara mengatur tanah hanyalah untuk merampas tanah hak ulayat Orang Asli Papua [OAP]. Tanah Papua harus dikembalikkan kepada Orang Papua. Negara berhenti mengintervensi hak milik orang Papua, sekaligus negara berhenti melakukan transmigrasi besar-besar ke Papua.

Pemerintah harus membuat perundang-undangan yang tegas dan ketat tentang laju kedatangan orang pendatang ke Papua. Baik pelabuhan udara maupun di pelabuhan laut harus melakukan sweeping. Mengembalikan orang pendatang yang ke Papua hanya untuk merampas dan menghabiskan nyawa OAP dengan dalil-dalil dangkal, yakni demi pemerintahan, demi keamanan, demi pendidikan, demi kesehatan, demi pewartaan dan lain sebagainya.

Orang Papua dan pemerintah Papua harus sadar penuh bahwa OAP tetap akan hidup, bahkan lebih aman, sejahtera dan damai jika dan hanya jika tanpa orang pendatang. Orang pendatang hanya datang untuk membunuh dan merampas tanah OAP. OAP wajib memberhentikan laju kehadiran OAP.

Tanah Papua dari Sorong sampai Merauke milik orang Papua. Sudah diatur dalam hak-hak ulayat dalam suku-suku, klen dan marga. Orang Papua secara turun temurun, dari generasi ke generasi hidup di tanah Papua sebagai hak sulung yang tak tergantikan, atau tak dibagikan kepada sesama yang lain. Hak kesulungan ini harus menjadi “kesadaran dan gerakan bersama” untuk melawan perampasan dan penjualan tanah.

Untuk OAP penjual tanah

Mengapa orang pendatang laju ke Papua? Salah satu faktor dan paling utama adalah “karena OAP menjual tanah.” OAP tidak menyadari secara sungguh bahwa tanah adalah dirinya sendiri, tubuhnya sendiri. Ketiadaan kesadaran ini, seenaknya OAP menjual tanah kepada orang pendatang.

OAP memberikan peluang kepada orang pendatang untuk berdomisili di Papua. Karena itu, sebagai mana OAP dihimbau untuk “stop menjual tanah” sebagaimana seLlu disampaikan alm., Mgr. John Philip Saklil.

Kepada pembeli tanah di Papua

Kepada yang membeli tanah, kamu memang tidak bersalah, tapi sadarlah bahwa dengan membeli tanah kamu sedang membunuh nyawa sang pemilik tanah. Pembeli tanah adalah pembunuh “tak langsung, pembunuh terselubung.”
Di samping seruan “Stop menjual tanah”, kami pun menyerukan untuk “stop membeli tanah Papua.”

Kepada semua pihak, baik OAP maupun orang pendatang, berhentilah membeli tanah Papua, sebab tanah Papua bukan tanah kosong, membeli tanah sama artinya dengan membeli nyawa orang Papua (membunuh manusia Papua).
Benar bahwa dalam kebodohan dan ketidaktahuan OAP menjual tanah, bahwa memang OAP sendiri menjual tanah, namun bukan berarti “kebodohannya dimanfaatkan untuk merampas, menjajah, atau mengambil alih tanah miliknya”.

Untuk pembeli tanah dihimbau untuk berhenti memanfaatkan kebodohan, keterbelakangan dan ketidaktahuan OAP. Harus disadari bahwa pertanggung jawaban dari “kaum yang menganggap pintar, bijak, pandai, cerdik, cerdas dan semua itu digunakan untuk menjajah, menindas, merampok” lebih berat, daripada terjadi karena ketidaktahuan. Jangan membeli tanah OAP dengan membodohinya. Pemerintah jangan membeli tanah hanya untuk membuka peluang bagi orang pendatang.

Stop transmigrasi

Pemekaran dibuat hanya untuk memperluas dan memperpanjang penderitaan orang Papua. Seiring dilakukan pemekaran, laju transmigrasi menjadi bagian yang tak terpisahkan. Transmigrasi dan pemekaran bagian dari sebuah penjajahan.

Pemerintah berhenti melakukan pemekaran, yang pada akhirnya mrlajukan transmigrasi besar-besaran ke Papua, sebab tidak ada tanah Papua yang kosong. Dalam keyakinan “totemisme” bahwa semua yang terkandung dalam tanah Papua mempunyai pemilik, bahwa tidak ada yang “tak berpemilik”.

Pemerintah hentikan kehadiran orang pendatang

Pemerintah harus sadar penuh bahwa atas nama pemerintah, atas nama pembangunan, orang pendatang sudah memenuhi tanah Papua, bahwa karena tanah Papua dibanjiri orang Pendatang, OAP sendiri terhanyut dan terkikis hampir punah. Pemerintah belum menyadari secara penuh bahwa “atas nama pembangunan dan pemerintahan jati diri, identitas dan rasnya hampir punah”.

Dari kenyataan ini apa yang pemerintah dapat dilakukan? Tidak lain dan tidak bukan adalah memberhentikan orang pendatang masuk ke Papua, dengan alasan apa pun. Pemerintah harus mempunyai legitimasi hukum dan peraturan yang teggas bagi orang pendatang.

Pemerintah secara tegas membuat peraturan daerah atau hukum yang tegas untuk memberhentikan kehadiran OAP ke Papua dengan alasan apa pun. Apa pun alasan, orang pendatang tidak boleh masuk ke Papua, kalau pum datang harus dalam jangkauan waktu tertentu dan tujuan bukan untuk menetap selamanya di Papua.

Semua OAP bersatu untuk memberantas lajunya kehadiran orang pendatang ke Papua. Hak atas tanah Papua, melekat dan berkodrat dalam diri OAP. Menjual tanah Papua merupakan menjual harkat dan martabat OAP. Memasukan orang pendatang ke Papua merupakan pembunuhan terhadap orang Papua. Membeli tanah Papua juga merupakan membunuh penjual atau pemilik secara tidak langsung.

Pemerintah daerah yang punya otoritas, harus membuat hukum yang jelas dan tegas untuk kedatangan orang pendatang. Bila perlu, harus memulangkan orang pendatang yang tanpa kepentingan sedang berkeliaran di atas tanah Papua, sebab tanah Papua bukan tanah kosong.

Sumber, http://www.wagadei.com

*] Penulis adalah aktivis HAM dan pemerhati Sosial Politik di tanah Papua


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.