Gadis Alang Alang
SETIAP kali melintasi tanah kosong itu, mataku selalu berlari pada ang-alang yang daunnya melebat, berwarna hijau. Bunga tengah semarak, putih berbintik kecoklatan mirip sumbu kompor. Berayun setiap angin menerobos, membelah rimbun semak.
Tak pernah berubah walau hujan dan kemarau silih berganti, banyak hama. Hanya warna daunnya saja yang bersalin rupa dari hijau menjadi kuning. Ya, bila reinkarnasi itu benar ada, aku ingin menjelma sebagai alang-alang.
Sejak kanak aku; begitu terobsesi, dan pikiran ganjil seperti itu semakin mencuat di benak. Aromanya bila sudah mengering, terbitkan sensasi aneh pada syaraf penciuman. Sepertinya aku menghirup nafas kehidupan yang baru.
“Amadi, tak cari kemana-mana, ternyata kamu disini, ee?” reflek kuputar leher, sosok lelaki klimis telah berdiri di samping. “Ayo, pulang!” tangan kekarnya menggamit lenganku.
“Eh, Damoye . Sebentar, saya baru dapat sedikit,”
“Sudahlah, kamu tidak boleh cape. Harus
istirahat!” Mata kami bersitatap, dan seperti
biasanya saya tak bisa menolak. Sejenak, pantatku telah menempel di rumahku,
membawamu pulang ke rumahku.
***
“Ama, sampai kapan kamu kasih keputusan?” Damoye kembali melontarkan tanya yang sama.
Mungkin sudah ribuan kali keluar dari bibirnya.
“Bukankah aku sudah ambil keputusan,
Amo?”
“Bagiku itu bukan keputusan. Karena tidak keluar dari kejujuran. Kamu membohongi diri sendiri!”
“Bagaimana Amo tahu kalau saya bohong?”
“Aku sudah lama mengenalmu, Ama. Kamu tahu itu.
Ibaratnya sehelai rambut yang rontok dari kepalamu pun aku bisa merasakan.” Aku memang tak bisa mengelak dari lelaki satu ini. Dialah orang yang selama ini menganggap keberadaanku di dunia masih ada.
Apakah ia teramat menyanyangiku? Entahlah, yang pasti sampai detik ini, ia masih memburu jawaban atas permintaan yang mustahil kululuskan.
Amo, “Sudahlah aku tak mau memaksamu. Sa pergi dulu, masih ada narasumber penting yang harus kudatangi.” Tak lama punggungnya telah lenyap, tinggalkan sa yang masih termangu.
Amo adalah sosok lelaki wartawan mengisi harinya sebagai liput berita. Kini itu sa bekerja sebagai wartawan salah satu media yang ada di wilayah Meepago. Bekerja menugaskan meliput tentang berita aktual dalam kehidupan sehari-hari, khususnya kehidupan wartawan.
Kemudian sepertiku.
Semula, aku acuhkan permintaannya untuk wawancara. Bagiku, wartawan adalah profesi yang suka mengobok-obok dan turut campur urusan orang lain. Prinsipku waktu adalah uang, karena siangnya pun sa harus menatap pada panel kameraku, jariku selalu dikeybord komuter.
Peristiwa itu dengan cepat terlupakan, hingga suatu hari ada kiriman berita yang lewat WhatsApp oleh salah seorang pegawai negeri sipil kab. Dogiyai. Oh, ternyata isinya puji diri. Sa hanya membaca judulnya saja, tak tertarik untuk menilik lebih lanjut. Tapi karena terpaksa kerjakan sebab tugas. Pungkasnya
“Terima kasih ya. Berita sa sudah memuat di banyak pemirsa (publik) ,” tutur pegawai.
Seusai itu, malam haripun tiba ketika menemaniku buku berjudul "Deiyai Dalam Proses Pembangunan Bangsa" yang ditulis oleh Fransiskus IGN Bobii. Tiba-tiba hp nada berdering. Lihat begini, muncul dilayar nomor nama tak dikenal (baru), ternyata nomornya Ama yang baru beli. Sa lontarkan, kenapa nomor ganti namun Ama bantah pertanyaan saya.
Dalam tiga minggu ini Amo tak pernah menelpon sa ini, kenapa? Dalam hati sa bantah pertanyaan bahwa memang jadi kekasih seorang wartawan harus hadapi karena "Jam kerja wartawan yang tidak tepat, risiko pekerjaan yang tinggi, kenalan yang banyak sampai dengan lokasi kerja (liputan) yang sulit ditebak pasti membuat siapa saja yang merajut kasih dengan wartawan harus memiliki mental kuat." berpikir dalam hati.
Benar, sa jadi maafkan ya, kerena dalam bulan ini, sa sibuk menulis sa pu kisah dengan Mama waktu bersama.
Ko Jujur, mana kisahnya sa boleh bacakah?
Boleh?
Ama, "Kata-kata sangat menarik, enak dibaca juga kisahnya sangat menyedihkan” cetusku datar.
Amo, " Iya makasih, ini kisah sa deng mama berdua di bawah kaki gunung Kemuge tepatnya di kampung dusun Obay (Peteataa).
"Ceritanya panjang sekali tapi pembaca juga tidak rasa bosan karena kata-kata teratur" ujar Ama
"Ah, ujar Ama pasti . Wajarlah,
profesiku menulis” maaf bukan memujiku sa hebat.
Ternyata Ama berpura baik-baik
Ama “Otakmu itu selalu berburuk sangka melulu. Tak semuanya berpendapat begitu.”
Amo, "Sa hanya bisa tersenyum dan diam, Terkejut, tak peduli. “Emang ada sisi positif dari kisahmu?”
“Biar, sa menulis bukan cari puji atau salut, Sa hanya mengambarkan kisah perjuangan Ibu agar perjuanan hidup dalam tulisan"
Aku berhenti sejenak
menelan ludah, “Tapi tak selamanya aku sanggup bertahan di dunia malam ini. Dengan menulis yang tapi kudapat nanti, kelak aku bisa melamar kerja di kantor.”
“Wah, hebat! Semog ini Rencana Tuhan..” Mata Damoye berbinar, ada kejujuran tergambar di sana. Bisa ditebak, semenjak itu kami menjadi semakin akrab. Tak jarang ia mengantarku pulang setelah tutup cerita membuatku sebagai seorang pria menjadi terlindungi, walaupun nada-nada miring tak pernah surut terdengar. Cap yang terlanjur melekat tak mungkin terkikis.
Hubunganku dengan Ama bukanlah hubungan layaknya dua orang kekasih. Jujur aku teramat menyayanginya, lebih dari sekedar hubungan asmara. Ia kuanggap sebagai kakak kandungku, yang selalu melindungi di saat terhimpit masalah. Itulah salah satu alas an mengapa sampai detik ini aku selalu menggantung jawaban setiap Damoye melontarkan tanya.
Aku bukanlah sosok yang tepat untuk menjadi pendamping hidupnya. Virus-virus kotor telah menyebar dalam ragaku. Saat masih menapak di dunia malam, diriku tak kuasa menolak godaan yang begitu menggairahkan. Jarum suntik telah merajam seluruh pembuluh darah, menerbangkan angan pada kesenangan sesaat.
Pentingnya!
Jaga hati kepada lelaki yang dicintainya itu. Tapi saat ini bukanlah waktu yang tepat. Mungkin, satu hari nanti bila gadis alang-alang itu sudah bertunas dan menghijau kembali…
Senja jingga menyeruak. Kesiur angin nakal menyibak lembut rambut mayang seorang gadis yang tergerai. Perlahan, seorang pemuda menghampirinya hendak memohon maaf atas kesalahannya kepada gadis alang-alang. Gadis itu tersenyum, menyambut kekasihnya dengan suka cita. Bergandengan, melangkah meninggalkan senja yang semakin matang. Mengejar hari yang menggelap, berganti malam.
Tokoh utama dalam cerita:
- DamoyeJp (anak jalanan/kaki abu)
- Amadi (...........)
==========Bersambung=========
Tidak ada komentar
Posting Komentar