Header Ads


Pupus Cinta

Olivia Wanita Tak Beruntung - Sudah lebih dari tiga bulan aku tinggal di rumah orang tua. Sepertinya ibuku mulai curiga. Sosok suamiku yang tak pernah muncul batang hidungnya. Tentu ini menjadi pertanyaan besar. Tidak hanya ibu dan bapak, bahkan keluarga besarku. Mungkin juga para tetangga. Mereka mulai gusar. Tidak sabar untuk mencecarku. Ahh itu sudah pasti. 

Kulihat dari sorot mata mereka. Jelas sekali membutuhkan sebuah penjelasan. Aku, begitu takut bila netra ini beradu. Penjelasan apa yang bisa kuberikan. Sementara aku sendiri sudah lama terkungkung dalam ketidakmengertian. Sampai kapan? Tidak tahu. Kadang aku menyesali diri, kenapa nasibku begini amat. Selalu memancing omongan orang.

Entah sampai kapan aku harus bersandiwara. Berpura-pura tidak apa-apa. Padahal aslinya terluka. Sampai kapan aku sanggup hidup dalam kepalsuan yang kuciptakan sendiri. Toh, cepat atau lambat mereka akan tahu juga.

Kali ini kesabaran ibuku sepertinya sudah pupus sepertinya. Aku tahu, ibu sudah menahan sekian lama. Batinnya pasti sudah membuncah. Melihat keganjilan demi keganjilan. Biarlah, mungkin ini sudah saatnya.
Badanku meriang pagi ini. Kecapekan mungkin. 

Satu mingguan ini aku disibukan dengan urusan Maria. Pulang sekolah aku langsung ke rumahnya untuk menemani belajar. Kondisinya belum pulih benar untuk datang ke tempat les. Sementara sebentar lagi ia harus persiapan untuk ujian. Aku tidak bisa menolak permintaannya. Perjalanan bolak-balik sepuluh kiloan kadang kehujanan membuat badanku drop. Mau tidak mau harus istirahat untuk memulihkan tenaga. Betapa pentingnya kesehatan, saat tubuh ini mulai sakit. Tanpa sehat kita tidak bisa melakukan apapaun.
Ibu membawakan kunyit asem hangat racikannya. Semangkok bubur ayam yang dibeli di tukang bubur gang sebelah.

Kemudian beliau duduk di tepi ranjang. Dengan sigap tangannya menyentuh kening dan kedua tanganku. Berdua dengan ibu dalam hening begini membuatku takut. Akhir-akhir ini sebisa mungkin kuhindari. Ibu yang selalu kritis dan peka. Dan pandangannya membuatku menggigil. Bukan karena sakit, tapi takut kalau tiba-tiba bertanya tentang suamiku. Seperti tempo hari. Aku pun berpura-pura tidur. Tapi ibu biarpun sekolahnya tidak tinggi, pandai sekali ia menebak pikiran orang. Apalagi anak yang dilahirkannya. Tentulah ia paham betul.

“Da, jujurlah sama ibu!
Ucapan ibu terasa seperti sengatan. Seketika aku membuka mata. Jantung mulai dag dig dug. “Sebenarnya ada masalah apa kamu dan suamimu?” Aku terdiam. Mencoba menyusun kata-kata. Mataku tertunduk sambil menatap seprei motif bunga. Kemudian aku menggeleng lemah.
“Tidak ada masalah apa-apa, Bu”
“Aku ini ibumu. Jangan menyembunyikan apa-apa sama ibu. Ada masalah? Da…!”
Sampai sini kalimat ibu tercekat di tenggorokan. Tubuhku seperti ditimpa benda yang berat. Air mata yang sudah kutahan akhirnya jebol juga. Aku terisak dalam pelukan wanita yang melahirkanku tiga puluh satu tahun silam. Hanya isakan yang mengguncang pundakku. Ibu memeluk dan mengelus rambutku. Mungkin sudah saatnya ibu tahu. 

Tak sanggup lagi diri ini menutup-nutupi.
Ya Allah tak sanggup rasanya melihat ibu terluka seperti ini. Dengan berat hati, aku sampaikan bahwa Pace Widimaibi alias Step telah meninggalkanku setelah dua minggu pernikahan kami. terpaksa aku ceritakan karena ibu terus mendesak. Aku tidak bisa lagi menutupi seolah-olah pernikahanku baik-baik saja.

Tangis ibu pecah. Hatiku semakin pilu. Suara pintu di buka berderit. Bapakku sudah berdiri di depan pintu. Bapak mematung menyaksikan kami menangis. Terutama ibu yang suaranya hampir meraung.

Sejak kejadian itu, semua terlihat hampa. Aku tidak tahu bagaimana cara mengembalikan kebahagiaan mereka. Berhari-hari ibu dan bapak terlihat murung. Seolah mereka telah lupa bagaimana caranya tersenyum. Jika boleh meminta, lebih baik mereka tidak pernah tahu masalahku. Biarlah luka ini kutanggung sendiri. Tapi apalah semua sudah terjadi. Ini jodoh pilihan ibu.

Tidak! Sama sekali aku tidak menuntut. Ini jalan takdirku. Sudah berbulan-bulan aku berdamai dengan diri sendiri.

Aku baru saja selesei beres rumah. Badanku masih sedikit meriang, namun pusing di kepalaku sudah hilang. Aku memilih istirahat saja di kamar. Terdengar suara pintu di ketuk.

Langkah kaki bapak tergopoh-gopoh membukakan pintu. Lamat-lamat aku mendengarkan percakapan Bapak dan tamu itu. Tidak lama kemudian ibu masuk ke kamarku. Mengabarkan kalau Maria dan Papanya berkunjung. Aku meminta ibu untuk menemani mereka ngobrol lebih dulu. 

Kemudian aku berganti baju dengan gamis warna navy kesukaanku di padu dengan salendang warna biru muda. Sedikit ku poleskan bedak supaya tidak terlihat pucat.
Dengan sedikit terhuyung aku menuju ruang tamu. Ada rasa grogi campur bahagia. Entahlah. 

Wajah Maria dan papanya mendongak melihat kehadiranku di balik gorden yang memisahkan ruang tamu dan ruang keluarga.

Seperti biasa Maria mencium punggung tanganku. Aku menelungkupkan tangan di dada, papa Maria melakukan gerakan yang sama. Kami mengobrol ringan saling menanyakan kabar. Padahal baru beberapa hari saja tidak bertemu. Ibu dan Bapakku pamit untuk menyeleseikan pekerjaan di belakang. Mereka tidak suka bicara dengan urusan anak-anaknya. Biasanya setelah tamu pulang, mereka baru bertanya tentang berbagai hal.

Sekitar tiga puluh menitan Maria dan papanya baru pamit pulang. Ia meninggalkan bingkisan untukku. Aku, ibu dan bapak mengantar sampai depan pintu. Sampai mobil itu hilang dari pandangan, baru kami melangkah ke dalam rumah.

Ada kebahagiaan yang mengalir dalam dada ini. Segera kutepis jauh-jauh.
Kulihat wajah ibu dan bapak ingin bertanya tentang sosok tamuku. Mungkin mereka penasaran. Selama ini mereka hampir tahu semua teman-temanku. Tentang Maria, pernah aku bercerita sedikit. Kali ini aku bergegas masuk ke dalam kamar. Pengen istirahat saja.

Lelah rasanya hati ini.
Belum sampai tiga puluh menit berlalu. Dergg. Notifikasi pesan masuk melalui whatssapp.
[Semoga Ibu lekas sehat dan bisa beraktifitas kembali. Mohon maaf karena kami sering merepotkan]
Pesan dari papa Maria.
Membaca pesan tersebut anganku melambung tinggi. Ahh…tidak. Aku hanyalah wanita yang malang. [Saya tidak merasa direpotkan. Justru saya bahagia bisa menemani Maria] balasku.

Ku buang jauh-jauh perasaan yang tiba-tiba menggelitik. Please! Belum kering lukaku. Ada rasa sakit yang tak terlukiskan. Bahkan, kini aku tidak merasakan sakit itu sendiri. Ibu bapaku juga terluka, mungkin yang mereka rasakan jauh lebih parah.

Sebelum tidur aku selalu sempatkan untuk membaca Kitab "Injil''. Menurutku dengan membaca ini pada malam hari menjelang tidur akan menghalangi dari siksa kubur.

Aku adukan semua pada Allah. Dia sang pemilik hati ini. Termasuk nasib pernikahanku. Tidak ada yang salah dengan takdirNya. Aku yakin walau ini sangat menyakitkan.
Setelah itu Hadil mulai sering mengirim pesan. Mulai berani bertanya yang nyrempet-nyrempet. Hampir setiap hari selalu ada saja topik pembicaraan. Ia mulai berani memberikan perhatian lebih. Dari sini aku paham, ia tipe laki-laki yang tegas dan jelas. Bukan tipe yang suka mempermainkan perasaan wanita. Tentu saja aku dibuat bingung, karena semua belum terang benderang.

Minggu pagi, kami baru saja menghabiskan sarapan ubi bakar buatan ibu. Untuk urusan kuliner ibuku memang jago. Sayangnya itu tidak diwariskan pada anak-anaknya. Aku sampai nambah dua kali.
Tangannya sambil mengupas ubi bakar yang ada di depan ku. Kemudian menyodorkan piringku yang berisi ikan Mas danau Tigi.

“Hmm.... Masakan ibu memang paling enak,” pujiku.
Baru saja kami menghabiskan sarapan, Tiba-tiba dari luar suara pintu di ketuk.
“Salam untuk semua.”
Aku segera bergegas menuju ruang tamu.
“Salam Jua.”
Betapa terkejutnya, aku melihat ibu mertuaku berdiri di depan pintu. Saking kagetnya  aku lupa menyalaminya. Rasanya jantungku mau copot. Ada apa gerangan? Pasti ini ada hubungannya dengan suamiku.
“Ida..,” sapanya.

Aku tersadar dari lamunan. Aku mencoba tersenyum dan mempersilahkan masuk. Luka di hatiku yang telah susah payah kusembuhkan perlahan menganga. Rasanya ingin kuhamburkan semua rasa sakit pada wanita paruh baya ini. Tapi menyadari, aku ini seorang guru, tentu harus bisa menjaga sikap bahkan dalam kondisi marah sekalipun.
Ibu yang baru saja menyeleseikan sarapannya langsung menghambur menemui ibu mertuaku. Bapakku mengekor di belakangnya. Tanpa ba bi bu, Ibu meluapkan semua amarah. Tangannya menuding tepat di depan wajah mertuaku. Semua kekecewaannya ia tumpahkan tanpa sedikit pun dapat di potong ucapannya. 

Setelah puas mencaci maki, ibu menangis sesenggukan. Aku diam tak bicara sepatah kata pun. ada perih yang menikam dalam dada. Tak ada kalimat yang dapat mewakili perasaanku. Terlampau kecewa. Perlahan bening di sudut mataku luruh.

Ibu mertuaku masih bergeming di sana. Wajahnya tampak pasi karena ketakutan dan malu. Sebenarnya aku sangat iba. Ingin rasanya aku menyentuh tangannya. Tapi hati ini teramat sakit akibat ulah anaknya.
Kulihat ia terisak tanpa bisa memberikan penjelasan apapun. Ibuku sudah terlanjur marah besar. Bingkisan dari ibu mertuaku ia kembalikan. Kemudian mertuaku pamit pulang dengan membawa bingkisannya kembali. Aku mengiringi sampai depan pintu. Ia mengatakan bahwa ia menungguku di rumah.
“Datanglah. Maafkan ibu, ucapnya lirih setengah berbisik di telingaku.

Belum sempat aku berkata apa-apa, suara ibu menggelegar membuatku kaget.
“Da, masuk!”
Ibu menutup pintu dengan keras. Aku berlari menuju kamar. Menumpahkan segala tangisku di sana. Ucapan ibu mertuaku tadi terngiang dalam ingatan. Pasti ada sesuatu yang terjadi. Sayangnya ibu terlalu emosional dan tidak bisa menerima penjelasan apapun.

Kali ini aku tidak bisa membayangkan ibu mertuaku harus kembali pulang. Membawa pula bingkisan yang ia bawa dengan susah payah. Menunggu angkut sampai penuh ke terminal, kemudian naik taksi. Pastinya ia masih lelah menempuh perjalanan selama dua jam-an. 

Kali ini ia harus pulang ke rumah dengan perasaan yang tercabik-cabik.
Aku sendiri tidak bisa berbuat banyak. Ibuku terlanjur marah. Ya sudah. Aku harus atur waktu supaya bisa ke rumah ibu mertua. Tentu tanpa sepengatahuan ibu. Bagaimana? Aku masih menyusun rencana. Semoga Allah memberiku kemudahan untuk menyeleseikan masalah ini.


Kisah Nyata: Olivia
Penulis: Nori Damoye

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.